Pengembangan Organisasi Tanpa ESG: Strategi Usang di Dunia Baru

Pengembangan Organisasi Tanpa ESG: Strategi Usang di Dunia Baru

Kita tak bisa lagi mengembangkan organisasi dengan logika lama di dunia yang sedang menuntut tanggung jawab baru.

Mari kita mulai artikel ini dengan satu pertanyaan mendasar, Apa arti “pengembangan organisasi” di tahun 2025 ini?

Di ruang-ruang rapat direksi, pengembangan organisasi sering diterjemahkan menjadi efisiensi proses, peningkatan teknologi, atau manajemen talenta. Namun, jika kita jujur, masih sedikit organisasi yang benar-benar menempatkan “nilai keberlanjutan” sebagai inti dari setiap transformasi. Di sinilah ESG (Environmental, Social, Governance) hadir bukan sekadar sebagai tambahan, tapi sebagai kerangka berpikir baru. Tanpa ESG, pengembangan organisasi hari ini bukan hanya kehilangan arah —ia bisa jadi sedang membangun istana di atas pasir.

Dalam The Adventure of Sustainable Performance (2023), Stuart McLachlan dan Dean Sanders mengajak kita berpikir ulang tentang tujuan keberadaan organisasi. Mereka menulis bahwa organisasi masa depan harus didorong bukan hanya oleh pertumbuhan finansial, tetapi oleh penciptaan nilai menyeluruh untuk manusia dan planet. Dalam pandangan mereka, kita tidak sedang hidup di era perubahan. Kita sedang mengalami perubahan era. Dan dalam perubahan itu, organisasi yang masih mengabaikan ESG sedang memposisikan diri mereka sebagai dinosaurus —besar, lambat, dan segera punah.

ESG? Itu Urusan PR dan Laporan Tahunan. Salah Besar

Banyak pimpinan organisasi masih memandang ESG sebagai urusan komunikasi perusahaan, bukan strategi inti. ESG dianggap sebagai sesuatu yang dibutuhkan hanya untuk menjaga citra. Ini kesalahan fatal.

Matthew Sekol, dalam bukunya The ESG Mindset (2024), menantang persepsi itu. Ia menunjukkan bagaimana ESG telah berpindah dari ranah kepatuhan menuju arena ketahanan bisnis (resilience) dan inovasi. ESG bukan beban tambahan; ia adalah sumber keunggulan kompetitif. Ketika sebuah organisasi memutuskan untuk mengintegrasikan prinsip keberlanjutan sosial, lingkungan, dan tata kelola dalam setiap keputusan bisnis, mereka tidak hanya lebih relevan —mereka juga lebih adaptif terhadap perubahan pasar, regulasi, bahkan krisis global.

Dalam konteks pengembangan organisasi, ESG bukan sekadar what (apa yang dilakukan), tapi juga how (bagaimana cara melakukannya) dan why (mengapa ini penting). ESG mengubah narasi dari “bagaimana kita berkembang?” menjadi “bagaimana kita berkembang secara bertanggung jawab dan berkelanjutan?”

Data ESG: Aset Strategis yang Sering Terabaikan

Sering kali, masalah terbesar bukan pada niat organisasi, melainkan pada ketidaksiapan mereka membaca dan mengelola data ESG secara tepat. ESG adalah wilayah yang kompleks, multidimensi, dan sangat tergantung pada kualitas informasi. Tanpa data yang baik, ESG hanya akan jadi jargon kosong.

Sherry Madera, dalam Navigating Sustainability Data (2024), membedah tantangan dan solusi dalam mengelola data ESG. Ia menekankan bahwa organisasi perlu memperlakukan data ESG layaknya data keuangan: objektif, terdokumentasi, bisa diaudit, dan menjadi dasar keputusan strategis. Di sini, pengembangan organisasi harus bertransformasi menjadi pengembangan sistem informasi dan pengambilan keputusan yang inklusif terhadap indikator ESG.

Artinya, bukan hanya bagian ESG yang mengurus ESG. Divisi SDM, keuangan, pengadaan, bahkan operasional harian —semua harus mulai berbicara dalam bahasa keberlanjutan. Dan ini tidak akan terjadi tanpa kepemimpinan yang memahami pentingnya perubahan paradigma ini

ESG Leadership: Saatnya Pemimpin Berhenti Menjadi Netral

Salah satu kutipan kuat dalam buku ESG: The Insights You Need from Harvard Business Review (2023) adalah, “Pemimpin masa depan tidak bisa netral terhadap isu sosial dan lingkungan. Netralitas adalah keberpihakan kepada status quo.”

Kepemimpinan yang “baik hati” saja tidak cukup. Kita butuh pemimpin yang bersedia membuat keputusan sulit demi nilai jangka panjang. Ini artinya berani menolak proyek menguntungkan yang merusak lingkungan, atau menunda ekspansi jika praktik SDM belum menjamin kesetaraan dan keamanan kerja.

Di sinilah ESG tidak lagi hanya urusan kebijakan, tapi soal etika. Dan kepemimpinan dalam pengembangan organisasi perlu menyatu dengan keberanian moral untuk tidak hanya bertanya “apa yang untung?”, tetapi juga “apa yang benar?”.

Apakah Organisasi Siap Dicoret dari Peta Relevansi?

Mari kita realistis. Dunia sedang bergerak cepat. Konsumen makin sadar dan selektif. Talenta muda hanya ingin bekerja di tempat yang punya nilai. Investor mulai berhitung soal risiko iklim dan reputasi. Jika organisasi kita tidak bisa menunjukkan strategi ESG yang konkret, maka perlahan tapi pasti, kita akan kehilangan pasar, kehilangan kepercayaan, dan akhirnya kehilangan arah.

Integrasi ESG dalam pengembangan organisasi bukan sekadar langkah progresif. Ia adalah asuransi keberlanjutan. Ia adalah cara untuk memastikan bahwa saat dunia berubah, organisasi tidak tertinggal —atau lebih buruk, tidak tergilas.

ESG Bukan Tambahan, Ia adalah Masa Depan

Pengembangan organisasi hari ini tidak bisa dilepaskan dari transformasi nilai. ESG bukan hanya soal “melindungi planet” atau “memberi kembali ke masyarakat.” ESG adalah strategi —sebuah kerangka untuk menciptakan nilai berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan.

Organisasi yang berani menempatkan ESG sebagai inti pengembangannya akan lebih siap menghadapi ketidakpastian, lebih dipercaya oleh publik, dan lebih tahan banting dalam jangka panjang. Seperti ditulis McLachlan dan Sanders, “Sustainable performance is not a destination. It is a way of being.”

Satu hal yang pasti, pengembangan organisasi yang tidak berangkat dari prinsip ESG adalah strategi yang lahir untuk mati.

Program Pelatihan Terkait:

Baca Juga

Kepala Divisi Program Pelatihan Sertifikasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *