
Menilik Kemungkinan Perang Dunia III dari Perspektif Supply Chain
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 dan konflik Iran-Israel pada pertengahan 2025, banyak pihak memperkirakan adanya eskalasi konflik yang akan menyebabkan Perang Dunia III. Berbagai argumen tentang skenario perang dan dampaknya terus dibahas. Pertanyaannya, apakah benar kedua konflik ini akan merembet ke seluruh dunia dan menimbulkan perang?
Artikel ini akan coba melihat dari latar belakang perang, tepatnya dari sudut pandang supply chain, dan karakter setiap bangsa dalam menyikapi konflik. Mari kita ulas!
Perang merupakan konflik bersenjata antar dua pihak dalam mencapai tujuannya masing-masing. Ketika satu negara diganggu kepentingannya, negara tersebut akan mempertahankan diri. Pada titik tertentu, kawan dari negara yang diserang dan kawan dari negara yang menyerang akan turut membantu. Yang pada gilirannya terjadilah perang dalam skala besar.
Sementara itu, negara yang tidak berkepentingan dan memiliki value (nilai) perdamaian tidak akan pernah ikut berperang. Prinsip ini sudah ada sejak zaman dahulu, tercatat pada Perang Baratayuda (Pandawa vs Kurawa) banyak kerajaan ikut membantu mereka dan ada kerajaan yang tidak ikut berperang atau terlibat.
Perang Dunia I (1914-1918) sendiri pada awalnya dinamakan The Great War (Perang Besar). Barulah saat perang besar lain di tahun 1939 muncul, istilah Perang Dunia digunakan.
Kemudian, The Great War dinamakan Perang Dunia I dan perang besar tahun 1939 dinamakan Perang Dunia II. Perang besar ini melibatkan dua pihak di mana masing-masing terdiri dari gabungan negara-negara yang sepaham atau mendukung salah satu negara yang berperang.
Sebelum Perang Dunia I, sudah ada beberapa great war antar negara Eropa, seperti Perang Franco-Prussian di tahun 1870 dan Perang Napoleon di awal 1800-an. Secara langsung maupun tidak langsung ikut melibatkan koloni dari negara yang berperang, seperti Indonesia sebagai koloni Belanda yang diambil alih Perancis selama Perang Napoleon.
Skala dari Perang Dunia pun terkonsentrasi di Eropa dan beberapa koloni dari negara yang terlibat perang, misalnya perang di Afrika yang sebenarnya diinisiasi oleh Eropa.
Selain itu, pada Perang Dunia I, Brazil misalnya, ikut perang dalam skala kecil, yaitu ketika mengebom kapal Tijuca di pantai Perancis dan menahan 42 kapal dagang Jerman. Kerajaan Siam (sekarang Thailand) juga menyita kapal dagang Jerman.
Sedangkan pada Perang Dunia II, terjadi perang di Asia ketika Jepang menyerang beberapa kota di Cina dan ketika Jepang berperang melawan Amerika. Ada beberapa konflik bersenjata skala kecil di Asia. Di Indonesia sendiri, Jepang berhasil mengalahkan Belanda hanya dalam waktu dua minggu dengan konflik bersenjata yang minim.
Kita lihat bahwa sebenarnya yang terjadi adalah perang (antar bangsa) Eropa yang menyulut ke negara-negara lain. Jika negara lain memilih tidak ikut terlibat, maka perang besar tersebut seharusnya tidak akan terjadi.
Sejarah invasi dan penaklukan bangsa lain memang sejarah Eropa. Dan ‘Perang Dunia’ hanyalah istilah; perang sesungguhnya adalah perang antar bangsa-bangsa Eropa dan negara lain ‘dikondisikan’ untuk ikut terlibat.
Negara-negara di Asia-Afrika sudah mengambil sikap merdeka setelah Perang Dunia II dan statusnya bukan lagi koloni negara Eropa. Asia-Afrika mestinya sudah tidak akan terlibat lagi dalam konflik bersenjata, apalagi “disertakan” ikut perang dalam konflik antar negara Eropa.
Sejarah Asia sendiri tidak menunjukkan adanya invasi di antara negara Asia. Dengan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika (yang dulunya merupakan koloni bangsa-bangsa Eropa), maka suplai bahan mentah untuk perang di Eropa pun tidak akan semudah dan semurah seperti zaman kolonisasi.
Tidaklah mudah untuk menjalankan sebuah operasi perang. Dibutuhkan berbagai jaringan supply chain yang mantap dan terintegrasi untuk sebuah perang, misalnya jaringan supply chain persenjataan, makanan dan pakaian perang bagi tentara, bahan bakar kendaraan tempur, obat-obatan bagi korban perang.
Sehebat-hebatnya tentara dengan persenjataan paling modern, tanpa adanya pasokan makanan yang memadai, perang tidak akan dapat dijalankan (An army which lacks heavy equipment, fodder, food and stores will be lost – Sun Tzu, ±500 SM).
Lalu, dengan merdekanya negara-negara koloni Eropa, maka suplai bahan baku persenjataan, bahan bakar kendaraan tempur, dan sumber makanan akan terputus — minimal akan sulit diperoleh dengan harga sangat murah seperti zaman kolonisasi.
Negara-negara Eropa akan sulit (atau membayar mahal) untuk memperoleh rempah-rempah dari Indonesia atau untuk memperoleh kapas dari Afrika Selatan (dulu keduanya sebagai koloni Belanda), untuk memperoleh bahan peledak dari Brazil (koloni Portugal), memperoleh aluminium dari Kongo (koloni Perancis), memperoleh bahan obat-obatan dari India (koloni Inggris).
Ilustrasi di bawah ini menunjukkan terputusnya suplai bahan mentah bagi kebutuhan perang di Eropa.

Dari narasi pada bagian sebelumnya, kita lihat bahwa ada dua isu utama terkait Perang Dunia. Pertama, pasokan raw material terputus. Jika sebelumnya raw material dapat diperoleh dengan biaya rendah, kondisi berubah karena tidak mudah lagi memperoleh raw material dengan harga murah.
Tentunya negara-negara produsen raw material ini tidak ingin menjual hasil alamnya dengan harga murah. Sumber energi perang ibarat mengikuti Hukum Termodinamika, di mana agar sebuah sistem bergerak (atau perang berlangsung) maka membutuhkan energi.
Ketika sistem tersebut semakin besar, maka dibutuhkan energi yang semakin besar pula. Jika sebuah sistem bergerak semakin lama, maka harus ada suplai energi dalam jumlah besar dan terus-menerus.
Begitu juga ketika perang berlangsung lama dan dalam skala besar, maka dibutuhkan suplai energi dalam jumlah besar dalam waktu lama. Ketika harga produk bahan mentah (suplai) sudah tinggi, maka sumber energi untuk perang besar dan dalam waktu lama menjadi sangat-sangat-sangat mahal. Kondisi ini yang tidak mendukung perang berskala besar.
Kedua, lokasi perang. Prinsipnya, ketika ada pergerakan barang (misalnya untuk tujuan perang), maka ada strategi dan keilmuan logistik dan supply chain.
Ini berarti ada faktor lokasi, yaitu tempat penyimpanan inventori, tempat produksi, terminal dan jalur transportasi, dan tentunya lokasi konsumen atau lokasi di mana produk perang digunakan atau disebut dengan lokasi perang.
Perang harus ada lokasi. Fasilitas pabrik, gudang, pelabuhan, pangkalan militer, semua membutuhkan adanya lokasi di mana semua itu akan ditempatkan. Pertanyaannya adalah, dimanakah kemungkinan lokasi Perang Dunia III?
Apakah negara-negara Eropa masih “bersedia” menjadi lokasi perang besar lagi? Dengan pengalaman dan sejarah yang mereka miliki, ditambah utang negara-negara Eropa setelah Perang Dunia untuk membangun kembali negara mereka yang rusak akibat perang, seharusnya kita tahu jawabannya.
Timur Tengah sudah mulai berbenah menuju kemajuan ekonomi modern, seperti Arab Saudi yang malah membuka batas-batas wisata yang tidak selalu sejalan dengan hukum agama Islam, atau Qatar yang membangun kawasan industri dan logistik. Alhasil, kecil kemungkinan lokasi perang terjadi di kawasan Semenanjung Arab.
Di Afrika masih banyak negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Negara-negara di Afrika mulai membangun, namun apakah mungkin mereka membangun untuk tujuan ingin terjun dalam peperangan besar? Apalagi beberapa negara Afrika pernah mengalami hidup dalam kemiskinan dan hampir sebagian negara-negara di Afrika masuk dalam kategori negara gagal.
Secara geografis, lokasi Amerika Latin dan Australia jauh dari wilayah-wilayah di bumi yang sering atau pernah terjadi perang skala besar sehingga jika mereka terlibat dalam sebuah perang besar, maka akan dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk mengirim (transportasi) tentara, kendaraan perang, dan segala kebutuhan perang.
Kita tahu bahwa biaya transportasi merupakan komponen biaya paling besar dari seluruh biaya logistik. Jika untuk mengirim tentara ke lokasi perang membutuhkan biaya dan sumber daya yang besar, lalu bagaimanakah biaya untuk menjalankan perang itu sendiri?
Di belahan Asia, Cina dan Taiwan, atau Korea Utara dan Korea Selatan, yang sering “saling memanaskan” suasana, sebenarnya tidak pernah benar-benar meletus menjadi perang terbuka.
Indonesia sendiri berpegang teguh pada konstitusi dan nilai yang dianut, yaitu ikut melaksanakan perdamaian dunia (seperti termaktub di bagian Pembukaan UUD 1945) dan menjalankan politik bebas-aktif. Artinya, Indonesia tidak akan memihak siapapun dan selalu menyuarakan penyelesaian konflik melalui jalan dialog.
Menurut Menteri Pertahanan Indonesia periode 2019-2024, Prabowo Subianto, strategi pertahanan Indonesia dirancang untuk melindungi diri dan bukan untuk menginvasi negara lain. Tidak pernah dalam sejarahnya bangsa-bangsa Asia Tenggara saling menginvasi dan menaklukkan. Karakter manusianya berbeda dengan manusia di Eropa dan Amerika yang gemar mengobarkan perang dalam skala besar.
Dengan melihat berbagai kondisi di atas, seharusnya kemungkinan meletusnya Perang Dunia III sangat kecil. Jika terjadi perang pun, maka itu perang di antara negara yang konflik saja, misalnya Rusia-Ukraina atau Iran-Israel. Ibaratnya, “Mereka yang perang, kok kita diikutkan?”. Itu adalah perang mereka, bukan perang kita (it is their war, not ours).
Artikel ini tayang di SWA Online
Baca Juga
- Gen AI: Antara Kompetensi, Kompetisi, dan Kolaborasi
- Simulasi Customer Interaction: Strategi Efektif Menilai dan Membangun Kompetensi Layanan
- Seni Menghargai Karyawan yang Menghidupkan
- Ketika Dompet Bicara: AI dan Open Finance Mengguncang Peta Persaingan Industri Keuangan
- Asesmen: Fondasi Krusial dalam Ekosistem Talent Management
- PPM School of Management