Kisah Nenek dan Toko Roti: Jangan Lupakan Esensi Melayani Manusia

Kisah Nenek dan Toko Roti: Jangan Lupakan Esensi Melayani Manusia

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan kejadian viral terkait penolakan pembayaran tunai oleh pelanggan yang dilakukan salah satu gerai toko roti ternama. Penolakan ini terjadi karena sang toko roti menerapkan pembayaran non-tunai atau cashless dengan mengandalkan pembayaran berbasis QRIS (Quick Respond Code Indonesian Standard).

Program pembayaran digital yang dikomandoi oleh Bank Indonesia tersebut digadang-gadang akan menjadi game changer di dunia transaksi keuangan. Harapannya, pelanggan dan penjual tak bersusah payah lagi mencari uang receh untuk pembayaran ataupun kembalian, sehingga transaksi lebih mudah, cepat, dan efisien.

Namun, penetapan pembayaran non-tunai ini ternyata tidak serta-merta bisa diikuti oleh semua orang. Literasi digital dan kemampuan tiap manusia yang beragam turut menjadi tantangan ketika kebijakan pembayaran non tunai berbasis QRIS tersebut dilakukan.

Alih-alih memudahkan, ternyata kebijakan ini bisa berbuntut panjang karena pegawai di toko roti tersebut menolak pembayaran tunai seorang nenek. Padahal, mungkin saja beliau sedang lapar dan ingin menikmati sepotong roti demi mengganjal perut dalam perjalanan. Kemajuan pembayaran teknologi digital tersebut harusnya bersifat inklusif, bukan ekslusif.

Meniadakan pembayaran tunai karena alasan digitalisasi adalah salah kaprah strategi. Konsumen harus diberikan pilihan, bukan hanya ikut aturan perusahaan. Apalagi ini terkait transaksi dengan mata uang resmi yang masih diakui dan dilindungi negara. Tentu saja kita menyadari bahwa uang rupiah merupakan alat pembayaran resmi yang didukung oundang-undang.

Bahkan, pihak yang menolak pembayaran transaksi dengan rupiah bisa diancam dengan hukum pidana. Namun, dari kejadian ini kita bisa pelajari, realitas pembayaran rupiah tersebut dihadang tembok kebijakan internal perusahaan yang disebut dengan adopsi teknologi. Padahal seharusnya, kebijakan internal perusahaan tak boleh lebih kuat dibanding undang-undang yang sah dan berlaku wajib bagi seluruh warga negara, termasuk pelaku bisnis. Praktik seperti ini menggelitik kita untuk kembali menelaah, apakah kebijakan teknologi pembayaran tersebut sudah tepat sasaran?

Padahal, Sang Nenek ingin bayar tunai, karena di tangannya ada uang rupiah yang resmi sebagai alat tukar dalam berbagai transaksi di negeri ini. Namun, karena semangat kemajuan teknologi pembayaran, toko roti tersebut hanya menerima pembayaran non-tunai. Tak ada pilihan lain. Ikuti sistem mereka atau tak beli sama sekali. Sayangnya, cuma itu pilihan yang tersedia bagi Sang Nenek dan juga pembeli lainnya.

Harusnya sistem bisnis lebih mengedepankan pengalaman pelanggan, bukan sekonyong-konyong menyudutkan konsumen tanpa ada kemerdekaan dalam menentukan pilihan. Sistem bisnis yang baik tentunya mengakar pada riset pengalaman pelanggan yang mendalam. Pengalaman pelanggan atau customer experience (CX) menjadi tolok ukur mengembangkan sistem transaksi yang egaliter antara penjual dan pembeli.

Transaksi harus jelas akad dan ketentuannya. Apalagi, dalam prinsip CX yang baik, praktik jual beli harus menegaskan hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli yang seimbang. Penjual tak bisa seenaknya menentukan kebijakan perusahaan tanpa ada komunikasi yang jelas dan tegas ke pelanggan

Pun begitu, pembeli juga tak serta merta berlindung pada keinginannya semata. Kesepakatan harus dilandaskan pada spirit kesetaraan dan kebebasan dalam menentukan pilihan. Fenomena transaksi di toko roti ini mengajak kita untuk menelaah kembali bagaimana jurang terbentuk antara keinginan perusahaan dan harapan pelanggan. Desain layanan yang penuh kesenjangan ini mengoyak nalar kita, apakah kepentingan bisnis harus mengorbankan esensi manusiawi?

Tentu memang benar bahwa desain layanan masa kini harus menjunjung sentuhan teknologi agar memangkas biaya transaksi, memetakan data pelanggan dengan akurat, atau untuk tujuan perusahaan lainnya. Namun, desain layanan yang baik itu juga harusnya tak melupakan titik kritis pertemuan yang humanis. Pelanggan adalah insan yang memiliki hati dan perasaan, tak bisa hanya dihadapkan pada desain layanan teknologi nirempati.

Penerapan teknologi ini seringkali menjebak keputusan manajemen yang tak mengakar pada pengalaman pelanggan di lapangan. Digitalisasi seakan kunci dari seluruh solusi. Pun begitu, urusan transaksi harus diselesaikan dengan penerapan teknologi. Lalu, di mana letak kesalahan utama? Bisnis sering terjebak dalam ilusi bahwa teknologi adalah solusi tunggal. Padahal, layanan yang prima adalah hasil dari keselarasan antara teknologi, proses, manusia, dan lingkungan fisik di sekitarnya.

Seperti halnya Gen AI yang membutuhkan kompetensi manusia untuk menyusun prompt yang tepat dan memberi sentuhan personalisasi, sistem pembayaran pun membutuhkan kebijaksanaan manusia untuk merancang pengalaman yang manusiawi. Bisnis boleh saja membangun sistem dengan teknologi mutakhir. Namun, jika sistem itu tidak memiliki empati operasional, maka ia hanya menjadi mesin dingin yang tak berperikemanusiaan.

Kisah nenek dan toko roti itu adalah pengingat keras bagi kita bahwa dalam derap laju menuju digitalisasi, jangan sampai kita melupakan esensi dasar bisnis, yaitu melayani manusia. Uang kertas mungkin suatu hari akan menjadi artefak di museum. Namun, hingga saat itu tiba, hak setiap warga negara untuk bertransaksi dengan alat bayar yang sah harus diberi kemerdekaan. Bisnis yang bijak adalah yang mampu berkolaborasi dengan teknologi tanpa mengorbankan kolaborasi dengan manusia itu sendiri.

Karena pada akhirnya, sepotong roti yang berhasil dibeli oleh seorang nenek dengan uang recehnya, adalah pencapaian bisnis yang sesungguhnya. Seandainya roti itu jadi dibeli Sang Nenek, bisa saja kita semakin menyadari bahwa sebuah transaksi bisnis yang baik tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga bermartabat bagi kehidupan.

*Tulisan ini dimuat di Kompas.com

Baca Juga

Noveri Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *