
Angka Penjualan Naik Bukan Berarti Bisnis Sehat
Banyak perusahaan di Indonesia menilai kinerjanya masih dengan ukuran-ukuran sederhana seperti laporan keuangan terlihat bagus, target penjualan tercapai, atau proyek selesai sesuai jadwal. Namun, dalam kenyataannya angka-angka itu tidak selalu mencerminkan kondisi sesungguhnya. Pertumbuhan penjualan bisa saja tinggi, tetapi kepuasan pelanggan menurun. Biaya bisa ditekan, tetapi kualitas layanan merosot. Semakin kompleks dunia bisnis, semakin jelas bahwa perusahaan butuh cara pandang yang lebih menyeluruh dalam membaca kinerja mereka.
Sebuah perusahaan ritel nasional pernah mengalami hal ini. Selama beberapa tahun, mereka bangga dengan laporan pertumbuhan penjualan yang terus naik. Target tahunan tercapai, bahkan laba bersih perusahaan meningkat stabil. Namun, di balik angka-angka yang tampak indah, ada tanda bahaya yang tidak terbaca, yakni pelanggan mulai beralih ke pesaing. Tingkat retensi pelanggan menurun, ulasan negatif di media sosial meningkat, dan loyalitas merek melemah.
Mengapa hal ini bisa luput dari perhatian manajemen? Karena mereka hanya melihat data keuangan, sementara sinyal penting lain tidak ditangkap. Departemen pemasaran sebenarnya sudah mengumpulkan data keluhan pelanggan, tetapi tidak pernah sampai ke meja direksi. Bagian operasional pun punya catatan soal keterlambatan distribusi barang, tetapi dianggap urusan teknis semata. Semua unit bekerja di kotak masing-masing, sehingga perusahaan hanya melihat potongan kecil, bukan gambaran besar.
Perubahan baru terjadi ketika direksi memutuskan membentuk tim analisis lintas fungsi. Tim ini tidak hanya berisi orang keuangan, tetapi juga pemasaran, operasional, SDM, dan layanan pelanggan. Tugas mereka adalah membaca data dari berbagai fungsi, lalu menyatukannya menjadi cerita utuh tentang kinerja perusahaan.
Hasilnya membuka mata. Ternyata kenaikan penjualan didorong oleh promosi besar-besaran, bukan loyalitas pelanggan. Promosi memang berhasil meningkatkan volume, tapi margin keuntungan semakin tipis. Sementara itu, pengalaman pelanggan justru menurun karena distribusi yang lambat dan kualitas layanan call center yang buruk. Akibatnya, pelanggan baru yang datang karena promosi tidak bertahan lama. Mereka mencoba sekali, lalu pindah ke pesaing yang lebih bisa diandalkan.
Dengan temuan ini, manajemen mengubah strategi. Mereka tidak lagi hanya mengejar penjualan, tetapi menekankan peningkatan nilai jangka panjang pelanggan. Promosi tetap ada, tetapi difokuskan untuk menarik segmen yang tepat, bukan sekadar mengejar angka volume. Tim operasional memperbaiki sistem distribusi, menggunakan data untuk memetakan area rawan keterlambatan. Layanan pelanggan juga diperkuat, bahkan call center diposisikan bukan hanya tempat menerima keluhan, tetapi sumber data berharga tentang kepuasan konsumen.
Perubahan ini butuh waktu, tetapi hasilnya signifikan. Dalam dua tahun tingkat retensi pelanggan naik, ulasan positif meningkat, dan margin keuntungan lebih sehat meski promosi berkurang. Perusahaan mulai memahami bahwa data lintas fungsi adalah kunci untuk melihat kinerja yang sebenarnya. Tanpa itu, mereka hanya mengejar pertumbuhan semu.
Kisah ini memberi pelajaran penting, ukuran kinerja tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut. Sebuah perusahaan yang tampak sehat secara finansial bisa saja rapuh jika tidak memperhatikan faktor lain seperti kepuasan pelanggan, efisiensi rantai pasok, inovasi produk, dan engagement karyawan. Semua itu saling terhubung, dan butuh kemampuan analisis untuk membacanya sebagai satu kesatuan.
Di titik inilah peran analis kinerja organisasi menjadi semakin strategis. Mereka bukan lagi sekadar pembuat laporan, melainkan penerjemah data yang bisa menjelaskan hubungan antar bagian. Dengan pemahaman lintas fungsi, seorang analis dapat menunjukkan bahwa penurunan kepuasan pelanggan bukan hanya masalah layanan, tetapi juga terkait distribusi dan desain promosi, atau bahwa penurunan produktivitas karyawan bisa terkait bukan hanya dengan jam kerja, tetapi juga dengan sistem insentif yang tidak sejalan dengan tujuan perusahaan.
Organisasi yang terbiasa berpikir dengan cara ini akan lebih adaptif. Mereka bisa menangkap sinyal perubahan pasar lebih cepat, menyesuaikan strategi dengan tepat, dan mengurangi risiko salah langkah. Di era di mana kompetisi begitu ketat dan pelanggan semakin kritis, kemampuan membaca data lintas fungsi menjadi keunggulan kompetitif yang nyata.
Bagi individu, keahlian ini juga membuka peluang besar. Seorang profesional yang mampu mengolah data, memahami konteks lintas fungsi, dan mengubahnya menjadi rekomendasi strategis akan selalu dibutuhkan oleh organisasi. Mereka tidak hanya dianggap staf pendukung, melainkan mitra strategis manajemen.
Kemampuan seperti ini tentu tidak datang dengan sendirinya. Ia bisa dipelajari dan diasah secara sistematis. Di Indonesia, salah satu program yang secara khusus dirancang untuk membangun kompetensi tersebut adalah Certified Organization Performance Analyst (COPA) yang diselenggarakan oleh PPM Manajemen. Program ini memberikan kerangka kerja, keterampilan, dan pola pikir yang membuat seorang profesional mampu melihat kinerja organisasi secara komprehensif, berbasis data, dan lintas fungsi. Dengan bekal itu, mereka bisa membawa perusahaan melangkah lebih jauh, bukan hanya bertahan, tetapi benar-benar tumbuh dengan sehat dan berkelanjutan.
Baca Juga
- Menilik Kemungkinan Perang Dunia III dari Perspektif Supply Chain
- Gen AI: Antara Kompetensi, Kompetisi, dan Kolaborasi
- Simulasi Customer Interaction: Strategi Efektif Menilai dan Membangun Kompetensi Layanan
- Seni Menghargai Karyawan yang Menghidupkan
- Ketika Dompet Bicara: AI dan Open Finance Mengguncang Peta Persaingan Industri Keuangan
- PPM School of Management