Cermin Keputusan: Antara Bertahan, Ego, dan Etika dalam Kepemimpinan

Cermin Keputusan: Antara Bertahan, Ego, dan Etika dalam Kepemimpinan

Dalam wawancara panjang selama lima jam bersama Bloomberg, Gibran Huzaifah, pendiri dan mantan CEO eFishery, mengakui sesuatu yang mengejutkan dan menggugah banyak kalangan, ia memoles laporan keuangan perusahaannya demi menarik investor.

“Saya pikir saya hanya melakukannya untuk bertahan hidup,” ujar Gibran. Trik manipulasi tersebut perlahan tumbuh menjadi struktur kebohongan yang sistematis.

Ia juga mengungkapkan perasaan personalnya, “Anda melihat diri Anda di cermin, dan ketika Anda melakukan sesuatu yang salah, Anda tahu bahwa Anda tidak bangga dengan diri Anda sendiri.”

Demikian pernyataan Gibran dalam tulisan wawancara yang dilansir Bloomberg Technoz.

Pernyataan itu bukan sekadar pengakuan. Ia adalah cermin nyata dari konflik batin yang dialami seorang pemimpin ketika berada di bawah tekanan. Apalagi di dunia startup yang keras, di mana tuntutan pertumbuhan cepat dan daya tarik investor menjadi ukuran kesuksesan, terkadang batas antara strategi dan manipulasi menjadi kabur.

Dalam kasus eFishery, laporan keuangan yang ditampilkan kepada investor menunjukkan pendapatan mencapai US$752 juta hanya dalam sembilan bulan pertama 2024, padahal angka sesungguhnya berada di kisaran US$157 juta.

Bahkan jumlah feeder yang dilaporkan sebanyak 400.000 unit ternyata hanya sekitar 24.000 unit di lapangan. Di atas kertas, eFishery terlihat sebagai bintang. Di lapangan, kenyataannya sangat berbeda.

Mengapa seorang pemimpin bisa sampai pada titik mengambil keputusan seperti itu?

Dalam bukunya The Psychology of Emotion, Dr. David J. Lieberman menjelaskan bahwa dalam setiap pengambilan keputusan, individu sering kali dipengaruhi oleh tiga motivasi utama, yakni:

  1. To feel good – memilih tindakan yang terasa enak, melakukan sesuatu yang rasanya nyaman dan menyenangkan. Motivatornya adalah dorongan tubuh.
  2. To look good – memilih tindakan yang menjaga citra diri atau agar terlihat tampak hebat/baik di mata orang lain. Motivatornya adalah memenuhi ego.
  3. To do what is good or right – memilih tindakan untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar yang sesuai dengan nilai moral dan etika, meskipun mungkin tidak nyaman atau tidak populer. Motivatornya adalah dorongan jiwa (moral dan nurani).

Lieberman menekankan bahwa kualitas karakter seseorang terlihat dari bagaimana mereka menyeimbangkan ketiga motivasi ini, terutama dalam situasi yang penuh tekanan. Memilih untuk melakukan hal yang benar, meskipun sulit, mencerminkan integritas dan kedewasaan emosional.

Keputusan Gibran dalam konteks ini tampaknya didorong oleh dua hal pertama. Ia ingin menyelamatkan perusahaan, karyawan, mitra pembudidaya ikan, dan seluruh ekosistem yang bergantung pada eFishery.

Di sisi lain, ada keinginan untuk mempertahankan citra positif dan meyakinkan investor bahwa bisnis berjalan sukses dan menguntungkan.

Namun, dengan mengabaikan prinsip etika dan menyajikan laporan yang tidak sesuai kenyataan, justru kepercayaan yang menjadi fondasi utama dalam bisnis hancur seketika. Dan inilah ironi terbesar, keputusan yang diambil untuk “menyelamatkan” justru bisa menjadi pemicu keruntuhan lebih besar.

eFishery bukan satu-satunya contoh. Kita tahu bagaimana startup seperti Theranos, yang dipimpin oleh Elizabeth Holmes, runtuh karena laporan kinerja yang menyesatkan dan janji teknologi yang tak terbukti.

Ada juga WeWork, yang valuasinya anjlok tajam setelah terbongkar bagaimana gaya kepemimpinan dan praktik keuangannya tidak transparan.

Kasus-kasus ini menunjukkan pola yang sama, pemimpin yang terlalu fokus pada narasi sukses dan pertumbuhan, namun mengabaikan integritas.

Kisah eFishery seharusnya menjadi momen reflektif bagi para pemimpin, terutama di dunia bisnis digital dan startup yang bergerak cepat. Apakah kita terlalu sibuk mengejar valuasi, hingga lupa bahwa bisnis yang sehat bukan diukur dari angka di pitch deck, tetapi dari nilai nyata yang diciptakan di dunia nyata?

Alih-alih mengejar kesan mengesankan untuk pendanaan dengan membesar-besarkan pendapatan atau jumlah pasar, pemimpin seharusnya menghindari cara-cara yang menyesatkan. Fokus utama semestinya diarahkan pada membangun bisnis yang berkelanjutan — dengan menyempurnakan model usaha, menciptakan nilai nyata bagi pembudidaya ikan, mengembangkan teknologi yang benar-benar berdampak, membangun tata kelola yang kuat dan transparan, serta menjaga kepercayaan ekosistem.

Kepercayaan adalah mata uang termahal dalam kepemimpinan. Dan ketika itu hilang, tidak ada valuasi yang cukup besar untuk membelinya kembali.

Dalam menghadapi situasi penuh tekanan dan pilihan sulit, seorang pemimpin dituntut untuk tidak hanya berpikir secara strategis, tetapi juga secara etis. Mungkin keputusan yang paling benar bukanlah yang paling nyaman, dan bahkan mungkin bukan yang paling cepat mendatangkan hasil, tetapi keputusan itu harus bisa dipertanggungjawabkan — di depan publik, tim, dan lebih penting lagi, di depan diri sendiri.

Bagi para pemimpin, ini menjadi cermin penting, apakah kita memimpin berdasarkan prinsip, atau demi bertahan sesaat? Apakah kita membangun organisasi dengan integritas jangka panjang, atau mengejar pengakuan jangka pendek dengan risiko kehancuran?

Karena pada akhirnya, setiap pemimpin akan sampai pada satu momen hening, saat harus bercermin dan bertanya, “Apakah keputusan ini mencerminkan siapa saya sebenarnya?”

Jika jawabannya membuat hati tak tenang, mungkin sudah waktunya untuk kembali ke dasar — karena kepemimpinan sejati bukan soal siapa yang paling cepat tumbuh, tetapi siapa yang tetap teguh saat semuanya diuji.

Artikel ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Achmad Fachrozi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *