Legal Mati, Ilegal Hidup? Dilema Etika Dunia Usaha Indonesia

Legal Mati, Ilegal Hidup? Dilema Etika Dunia Usaha Indonesia

Bayangkan kita adalah pemilik perusahaan kecil yang sudah bertahun-tahun beroperasi di Indonesia. Pandemi baru saja mereda, ekonomi belum sepenuhnya pulih, sementara biaya operasional terus naik. Pemerintah menerapkan regulasi baru yang menuntut pemenuhan standar tertentu, lengkap dengan sanksi bagi pelanggar.

Di atas kertas, semua itu bertujuan mulia —menjaga ketertiban pasar, melindungi konsumen, menyehatkan ekonomi. Namun, bagi kita yang setiap hari berjibaku menjaga kelangsungan usaha, kebijakan itu terasa seperti beban tambahan yang mengancam hidup mati perusahaan.

Dilema pun muncul. Menaati aturan meski berarti harus memotong jumlah karyawan atau bahkan menutup usaha, atau mencari celah “pelanggaran” agar tetap bisa bertahan. Beberapa mungkin menyembunyikan sebagian pendapatan agar beban pajak berkurang. Ada yang membayar upah di bawah standar dengan alasan tak mampu memenuhi UMR. Ada pula yang mengabaikan perizinan lingkungan demi bisa segera beroperasi. Pertanyaannya adalah, apakah semua ini salah secara etika?

Dalam buku Business Ethics edisi 2025 karya Stephen M. Byars dan Kurt Stanberry, dilema seperti ini disebut sebagai bagian dari zona abu-abu etika yang sering kali muncul dalam dunia bisnis modern. Buku ini menegaskan bahwa etika bisnis bukan sekadar soal legalitas. Banyak keputusan yang secara hukum salah, tetapi bisa dipahami secara moral. Sebaliknya, ada keputusan yang legal tapi secara etika dipertanyakan. Dalam realitas seperti di Indonesia, di mana birokrasi kadang masih berbelit, kepatuhan bisa terasa mahal. Namun, bukan berarti jalan pintas harus menjadi pilihan utama.

Byars dan Stanberry memaparkan beberapa kerangka berpikir etika yang bisa membantu organisasi menavigasi dilema ini. Pendekatan deontologis menekankan bahwa aturan harus ditaati tanpa pandang hasil. Jika membayar pajak adalah kewajiban, maka menghindarinya tetap salah, tak peduli jika uangnya digunakan untuk menggaji karyawan. Sementara pendekatan utilitarian menganjurkan untuk menimbang manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Dalam hal ini, jika melanggar aturan menyelamatkan puluhan keluarga yang menggantungkan hidup pada satu usaha, maka pelanggaran itu mungkin bisa dimaklumi. Namun, ada juga pendekatan etika karakter, yang lebih menekankan pada siapa kita sebagai pribadi dan organisasi. Apakah kita ingin dikenang sebagai organisasi yang integritasnya tinggi, atau sebagai organisasi oportunis yang hanya hidup dari celah?

Tiga pendekatan ini tidak selalu memberi jawaban seragam, tetapi setidaknya memberikan ruang refleksi. Apa pun pilihan kita, harus disadari bahwa etika bukan hanya perkara benar atau salah dalam logika hukum, melainkan juga menyangkut reputasi jangka panjang dan kepercayaan publik.

Di Indonesia sendiri praktik pelanggaran hukum demi bertahan hidup bukanlah cerita baru. Banyak pelaku UMKM mengaku tidak mampu menanggung beban pajak atau biaya sertifikasi produk, sehingga memilih tidak mendaftarkan usahanya secara resmi. Di sisi lain, ada perusahaan besar yang beroperasi tanpa mengindahkan aturan lingkungan, dengan alasan proses perizinan terlalu lambat dan biaya tak resmi terlalu tinggi. Situasi ini memperlihatkan bahwa sistem regulasi yang tidak ramah terhadap pelaku usaha kecil justru menciptakan ruang bagi pelanggaran etis yang masif.

Sayangnya, pembiaran terhadap praktik ini menciptakan efek jangka panjang. Semakin lama pelanggaran dianggap hal biasa, semakin rusak pula fondasi kepercayaan publik terhadap dunia usaha. Ketika organisasi tidak dihargai karena mematuhi aturan, dan yang bertahan justru yang bermain di luar hukum, maka ekosistem usaha akan membusuk dari dalam. Oleh karena itu, solusi atas dilema ini tidak cukup hanya datang dari pengusaha. Regulator harus membangun sistem yang adil, transparan, dan tidak mematikan usaha kecil. Insentif bagi pelaku usaha patuh, kemudahan layanan publik, serta edukasi etika bisnis perlu diperluas agar kepatuhan tidak menjadi beban, melainkan pilihan rasional.

Lebih dari itu, organisasi tetap harus bersandar pada prinsip-prinsip moral yang jelas. Jika harus memilih antara menyelamatkan usaha dengan sedikit menyimpang, atau tetap bersih namun berisiko bangkrut, tidak ada jawaban sederhana. Namun, sejarah menunjukkan, perusahaan yang bertahan dalam jangka panjang bukanlah yang paling cerdik menyiasati peraturan, melainkan yang membangun reputasi melalui integritas.

Dalam dunia bisnis yang makin terbuka dan diawasi publik, kepercayaan adalah mata uang yang paling mahal. Pelanggaran mungkin memberi nafas sesaat, tetapi nilai etika yang kuat memberi kehidupan yang panjang.

Akhirnya, keputusan untuk melanggar hukum demi bertahan adalah keputusan yang mahal. Mungkin tidak terlihat hari ini, tetapi pasti akan ditagih di kemudian hari —oleh hukum, oleh masyarakat, atau oleh hati nurani kita sendiri.

Program Pelatihan Terkait:

Baca Juga

Kepala Divisi Program Pelatihan Sertifikasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *