Mengapa Strategi Hebat Sering Gagal Total? Saatnya Pengembangan Organisasi Diperhitungkan

Mengapa Strategi Hebat Sering Gagal Total? Saatnya Pengembangan Organisasi Diperhitungkan

Mengapa strategi organisasi sering kali gagal membuahkan hasil? Dalam banyak kasus, strategi yang tampak menjanjikan justru berakhir dengan kebingungan, stagnasi, atau bahkan konflik internal. Fenomena ini bukan semata karena strateginya lemah, melainkan karena tidak didukung oleh pengembangan organisasi yang memadai.

Melalui pendekatan Organizational Development (OD), yang menjadi fondasi dalam Program Pelatihan Sertifikasi Certified Organizational Development Practitioner (CODP) PPM Manajemen, persoalan ini dapat ditelaah lebih dalam. Banyak strategi yang terlihat solid di atas kertas, tetapi gagal memberi dampak nyata dalam praktik. Tak jarang, strategi tersebut berhenti sebagai narasi, tanpa diikuti perubahan perilaku, budaya, dan sistem kerja yang konkret.

Menurut Devie Deviesa, Ph.D., pakar OD, strategi yang tidak dijalankan bukan semata akibat lemahnya implementasi. Lebih dari itu, kegagalan sering kali terjadi karena organisasi tidak mampu mengelola unsur manusianya yakni, pola pikir (mindset), kepemimpinan, dan desain organisasi yang menopang strategi tersebut.

Terlalu Fokus pada Strategi, Lupa pada Organisasinya

Banyak eksekutif dan pebisnis terlalu fokus pada menyusun strategi growth plan, business roadmap, atau ekspansi pasar, tetapi lupa bahwa strategi tidak akan bergerak sendiri. Ia butuh “mesin organisasi” yang mampu mengeksekusi dengan baik.

Dalam kerangka Organizational Development, strategi adalah salah satu elemen dari sistem organisasi yang tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus terhubung secara erat dengan:

  • Struktur organisasi: mencakup sistem, desain kerja, dan pembagian peran;
  • Orang-orang yang menjalankan strategi: termasuk kapasitas, mindset, dan budaya kerja;
  • Proses interaksi di dalam organisasi: termasuk mekanisme kerja, penyelesaian konflik, hingga adaptasi terhadap perubahan.

Di kondisi stabil, organisasi bisa berjalan secara autopilot, cukup mengandalkan sistem dan orang-orang yang sudah terbiasa. Namun, di era BANI, brittle (rapuh), anxious (cemas), non-linear (tidak linier), dan incomprehensible (sulit dipahami), organisasi tidak bisa lagi mengandalkan pola lama.

Dibutuhkan mekanisme manual pilot, yaitu proses organisasi yang memungkinkan pemimpin dan tim merespons tantangan secara sadar, adaptif, dan responsif. Tanpa keseimbangan antara strategi, struktur, orang, dan proses, maka strategi akan seperti mobil sport tanpa bahan bakar dan pengemudi. Tampak keren, tapi tidak ke mana-mana.

Melupakan Transformasi Mindset dan Budaya

Ketika sebuah organisasi meluncurkan strategi baru, sebenarnya yang diubah bukan hanya arah bisnis, tetapi juga cara berpikir dan cara kerja orang-orang di dalamnya. Strategi menuntut perubahan perilaku. Dan perilaku hanya akan berubah jika mindset dan budaya juga ikut digerakkan.

Sayangnya, banyak organisasi terlalu fokus pada aspek teknis strategi seperti target, indikator, aktivitas, tetapi lupa bahwa orang-orang yang menjalankan strategi tersebut belum tentu memahami mengapa perubahan itu perlu terjadi, bagaimana peran mereka dalam strategi, atau bahkan apakah mereka percaya strategi itu akan berhasil.

Dalam konteks CODP, setiap individu memiliki empat jenis pola pikir atau thinking mode, yaitu:

  1. Biru – Rasional, analitis, berpikir sistematis dan berbasis data.
  2. Kuning – Praktis, dinamis, fokus pada hasil dan orientasi tindakan.
  3. Merah – Emosional, relasional, empatik, dan mengutamakan hubungan sosial.
  4. Hijau – Kreatif, konseptual, futuristik, dan berpikir besar.

Setiap orang memiliki kombinasi keempatnya, tetapi biasanya ada satu pola yang paling dominan. Dominasi inilah yang membentuk mindset individu, yaitu cara seseorang membuat asumsi, mengambil keputusan, dan menyikapi perubahan, yang pada gilirannya kumpulan mindset individu ini akan menjadi budaya organisasi.

Jika strategi yang ingin dijalankan adalah strategi inovasi dan pembaruan, maka budaya organisasi harus memberi ruang untuk kreativitas, eksperimentasi, dan pembelajaran. Artinya, organisasi perlu mendorong dominasi pola pikir hijau dan membangun lingkungan yang aman untuk mencoba hal baru (safe to try).

Namun, jika budaya yang dominan masih didominasi oleh pola pikir biru yang terlalu birokratis atau merah yang terlalu relasional tanpa arah kinerja, maka strategi akan tertahan. Bahkan orang-orang dengan mindset kuning yang berorientasi hasil pun bisa kehilangan arah jika strategi tidak dikomunikasikan dengan jelas.

Transformasi mindset adalah proses, bukan instruksi. Transformasi budaya bukan sekadar membuat slogan baru atau menempelkan nilai-nilai di dinding kantor. Ini adalah proses sistematis yang melibatkan komunikasi yang terus-menerus, pelibatan karyawan dalam diskusi strategis, pemberian contoh dari pimpinan (role modeling), serta rekayasa sistem kerja dan insentif yang mendorong perilaku baru. Dengan kata lain,strategi hanya akan berdampak jika mindset manusia di dalam organisasi ikut bergeser, dan inilah esensi dari pengembangan organisasi.

Mengabaikan Peran Kepemimpinan yang Holistik

Strategi hebat butuh pemimpin hebat. Namun bukan hanya hebat dalam satu gaya melainkan pemimpin yang bisa memainkan beragam gaya kepemimpinan sesuai tantangan.

Berikut adalah empat gaya kepemimpinan berdasarkan kecenderungan berpikir:

1.Circumspective Leadership (Biru) – Si Regulator Sistem

          Pemimpin dengan gaya ini mengutamakan ketertiban, logika, dan struktur. Mereka sangat fokus pada perencanaan, aturan, SOP, dan kepatuhan. Gaya ini efektif dalam situasi yang membutuhkan efisiensi, konsistensi, atau pemulihan sistem organisasi. Namun jika terlalu dominan, gaya ini bisa menciptakan birokrasi yang kaku dan lamban dalam merespons perubahan. Cocok digunakan ketika organisasi menjalankan strategi efisiensi atau standarisasi proses besar-besaran. 

          2.Competitive Leadership (Kuning) – Si Penggerak Kinerja

          Pemimpin ini sangat berorientasi pada target, hasil, dan pencapaian. Mereka pandai memotivasi tim, menetapkan KPI, dan menciptakan atmosfer kompetisi yang sehat. Gaya ini relevan ketika organisasi sedang mengejar pertumbuhan agresif atau sedang berada dalam situasi kompetisi pasar yang ketat. Efektif saat strategi berfokus pada ekspansi pasar, pertumbuhan, dan penguasaan pangsa pasar.

          3.Collaborative Leadership (Merah) – Si Penguat Komitmen

          Gaya kepemimpinan ini menekankan pada hubungan, empati, dan komitmen tim. Pemimpin berperan sebagai mentor, pendengar yang baik, dan role model yang membangun kepercayaan. Gaya ini sangat penting ketika organisasi sedang menghadapi resistensi internal, konflik, atau saat perubahan budaya sedang digalakkan. Ideal dalam menjalankan strategi transformasi budaya atau saat organisasi mengalami kelelahan kolektif.

          4.Creative Leadership (Hijau) – Si Inovator Masa Depan

          Pemimpin dengan gaya ini memiliki kemampuan untuk membaca tren, berpikir strategis jangka panjang, dan menciptakan inovasi. Mereka senang bertanya, terbuka terhadap masukan, dan percaya bahwa strategi bukan sesuatu yang sakral melainkan perlu terus disempurnakan. Gaya ini sangat penting di era BANI, di mana ketidakpastian menuntut organisasi untuk terus berevolusi. Paling relevan saat organisasi menjalankan strategi inovasi, digitalisasi, atau transformasi model bisnis.

          Tantangan saat ini tidak bisa diselesaikan dengan satu gaya kepemimpinan saja. Pemimpin masa kini harus mampu bergerak secara holistic yaitu membangun struktur yang efisien, membakar semangat tim, menguatkan budaya, dan membuka ruang inovasi. Pemimpin yang hanya memainkan satu gaya akan mudah kewalahan. Sebaliknya, pemimpin dengan kemampuan adaptif dengan kata lain bisa memainkan semua gaya sesuai konteks, akan lebih mampu menjaga strategi tetap relevan dan hidup di lapangan.

          Strategi Butuh Ekosistem untuk Tumbuh

          Ketiga hal di atas menunjukkan bahwa strategi yang gagal dieksekusi bukan hanya soal buruknya perencanaan, tetapi sering kali karena lemahnya pengembangan organisasi. Tanpa struktur yang mendukung, tim yang siap, proses yang adaptif, dan kepemimpinan yang utuh, strategi akan berhenti di ruang rapat.

          Inilah pentingnya setiap manajer, baik di fungsi marketing, operasional, keuangan, maupun SDM memiliki kompetensi pengembangan organisasi. Bukan untuk menggantikan keahlian fungsional, tetapi untuk menyempurnakan dan menghidupkan strategi yang mereka bawa.

          Kalau kita merasa strategi organisasi sering tidak berdampak nyata, mungkin sudah waktunya kita masing-masing bertanya, “Apakah organisasi saya sudah berkembang cukup untuk menjalankan strategi tersebut?”

          Program Pelatihan Terkait:

          Baca Juga

          Kepala Divisi Program Pelatihan Sertifikasi

          Leave a Reply

          Your email address will not be published. Required fields are marked *