
Pelajaran dari Lapangan Hijau: Fokus, Peran, dan Kepemimpinan
Sabtu sore adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu penulis. Bukan karena ada jadwal pekerjaan penting, tetapi karena sudah punya janji pribadi: menemani Fatih, sang buah hati yang berusia enam tahun, latihan sepak bola.
Fatih baru saja bergabung dengan klub sepak bola U-7 di sekitar kompleks. Setiap Sabtu sore, puluhan anak-anak kecil berkumpul di lapangan hijau dengan sepatu bola warna-warni, semangat membara, dan wajah ceria yang siap bermain layaknya bintang dunia.
Latihan biasanya dimulai dengan pemanasan, dilanjutkan latihan teknik dasar, lalu diakhiri dengan sesi pertandingan mini. Nah, bagian terakhir inilah yang selalu dinantikan semua anak — kompetisi dua tim yang dibentuk oleh pelatih.
Hari itu, suasana lebih ramai dari biasanya. Banyak anak baru sedang trial, termasuk Fatih. Terlihat dari cara mereka menggiring bola yang masih kaku, berlari sembarangan ke arah bola, dan saling dorong seperti anak ayam berebut makanan.
Namun justru di situlah letak keindahannya. Melihat anak-anak itu bertingkah seperti Cristiano Ronaldo dan Messi, lengkap dengan gaya selebrasi gol, saling mendorong dengan semangat, atau tiba-tiba menjadi kiper dadakan tanpa aba-aba, membuat para orang tua tertawa bahagia sambil mengabadikan momen-momen itu dengan ponsel.
Penulis menyadari ada ketimpangan pada dua tim yang dibentuk. Satu tim terlihat jauh lebih kuat — baik dari sisi teknik maupun postur. Penulis tak tahu bagaimana pelatih membaginya, tetapi ini jelas bukan pembagian yang seimbang. Tim yang kuat terus menerus menyerang. Anak-anak dari tim ini tampak begitu kompak dan berambisi mencetak banyak gol.
Tapi anehnya, meskipun terus menyerang, bola tak kunjung masuk ke gawang. Penyelesaian akhir mereka kurang matang, dan terkadang mereka terlalu sibuk menunjukkan skill individu.
Sementara itu, sang kiper dari tim kuat tampak bosan. Ia berdiri santai, kadang menengok ke arah tribun kecil tempat orang tua berkumpul, kadang malah jongkok sambil memainkan sarung tangannya. Tidak ada ancaman berarti dari tim lawan.
Tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Di tengah lapangan, terjadi kemelut. Hampir semua anak berkumpul di satu titik, berebut bola seperti lebah mengerubungi madu.
Lalu, entah bagaimana prosesnya, seorang pemain dari tim yang lebih lemah menendang bola keras ke arah lawan. Bola meluncur deras melewati para pemain yang kebingungan. Tidak terlalu kencang, tapi cukup terarah, dan tanpa disangka, bola itu langsung mengarah ke gawang tim kuat, tanpa ada satu pun pemain yang mengejar.
Secara logika, bola itu mudah ditangkap. Itu pula yang membuat para pemain tim kuat tidak mengejar bola tersebut, karena merasa yakin bola akan dengan mudah diamankan oleh kiper mereka.
Namun yang terjadi sungguh tak terduga. Bola melaju lurus ke tengah gawang dan… gooooooo!
Kiper tidak ada di tempat. Ia tidak berada di tengah gawang. Ia sedang sibuk di sisi gawang, entah sedang apa. Mungkin karena bosan. Mungkin karena yakin gawangnya aman. Mungkin ada sesuatu yang mengganggunya sehingga ia kehilangan fokus dan teralihkan. Tapi karena satu momen kelengahan, gawangnya kebobolan. Anak-anak dari tim yang lebih lemah berlari merayakan gol seperti baru saja memenangkan final Piala Dunia.
Tepuk tangan dan sorakan meledak dari para orang tua. Tim yang selama ini ditekan justru unggul lebih dulu. Anak-anak dari tim yang lebih kuat tampak bingung. Beberapa melihat ke arah kiper mereka, seperti ingin berkata, “Kok kamu nggak jaga gawang?”
Di titik itulah penulis tersadar. Begitu banyak pelajaran kepemimpinan yang bisa dipetik dari kejadian ini. Salah satu yang paling penting adalah bahwa dalam tim, setiap orang punya peran. Tidak peduli seberapa kecil atau besar peran itu, semua harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab sampai akhir.
Sang kiper mungkin merasa perannya tidak dibutuhkan karena tidak ada serangan. Namun, dalam momen itulah justru kesalahan besar terjadi. Karena merasa tidak dibutuhkan, ia lengah, kehilangan fokus, dan meninggalkan posnya. Akibatnya fatal. Gol terjadi, dan timnya tertinggal.
Sebagai pemimpin, kita bisa belajar bahwa setiap anggota tim butuh kejelasan peran, penguatan tanggung jawab, dan pengingat yang konsisten. Kadang seseorang tidak menjalankan perannya bukan karena tidak mau, tetapi karena tidak sadar bahwa perannya tetap penting meski tampak sepele. Pemimpin harus bisa memastikan bahwa semua orang tahu betul apa yang harus mereka lakukan dan kapan harus melakukannya.
Kita juga belajar bahwa tim dengan semangat, kerja sama, dan keinginan kuat bisa mengalahkan tim dengan keunggulan teknis jika mereka tidak disiplin atau kehilangan arah. Dalam dunia kerja pun demikian. Banyak tim unggul gagal karena terlalu percaya diri dan lupa menjalankan peran dasarnya.
Kemenangan tim lemah sore itu bukan soal siapa yang lebih hebat, tetapi siapa yang lebih siap dan lebih fokus. Sang pelatih hanya tersenyum melihat semuanya, mungkin ia tahu bahwa yang lebih penting dari hasil akhir adalah proses belajar yang terjadi, baik bagi anak-anak, maupun bagi para orang tua yang menyaksikannya.
Sebagai ayah sekaligus pembelajar dan pengajar kepemimpinan, penulis pulang dengan satu catatan penting: jangan pernah abaikan peran siapa pun dalam timmu. Bahkan yang terlihat “tidak ada kerjaan” bisa menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan. Fokuslah, pahami peran, dan pastikan semua menjalankannya hingga peluit terakhir berbunyi.
Lebih dari itu, penulis belajar bahwa pemimpin memiliki peran sentral dalam memastikan timnya tetap fokus dan bertanggung jawab atas tugasnya masing-masing hingga tujuan akhir tercapai. Tim tidak boleh lengah, apalagi kehilangan arah.
Dari pembelajaran sepak bola Sabtu sore itu, bisa disimpulkan setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi peran utama seorang pemimpin, yaitu:
- Pemimpin harus terus-menerus mengingatkan tim tentang tujuan akhir. Terkadang dalam rutinitas, anggota tim bisa lupa arah. Pemimpin perlu menjadi pengingat yang mengoneksikan pekerjaan harian dengan visi besar yang ingin dicapai.
- Pemimpin perlu menegaskan kembali peran dan tanggung jawab masing-masing anggota tim. Tugas pemimpin adalah membantu setiap orang tetap fokus pada tugasnya, memahami apa hasil yang harus dicapai, dan bertanggung jawab atas perannya.
- Pemimpin harus hadir untuk memotivasi, membimbing, dan mengarahkan mereka yang mulai kehilangan arah. Ketika ada yang melemah, kehilangan semangat, atau melenceng dari perannya, pemimpin perlu turun tangan—bukan untuk menghakimi, tetapi untuk membangkitkan kembali semangat dan kesadaran peran.
Jadi, dalam tim, kepemimpinan bukan sekadar memberi perintah, tapi menjaga agar setiap orang tetap terhubung dengan perannya dan tujuan bersama. Seperti peluit terakhir dalam pertandingan sepak bola, kerja tim baru selesai ketika misi tercapai sepenuhnya.
Baca Juga
- Mengapa Strategi Hebat Sering Gagal Total? Saatnya Pengembangan Organisasi Diperhitungkan
- Netflix dan Kekuatan Business Intelligence: Belajar dari Sang Juara Data
- Psikotes Online vs Paper-Pencil: Antara Efisiensi dan Kedalaman Makna
- Risk Intelligence: Saatnya Chief Risk Officer Memimpin dengan Data, Bukan dengan Intuisi
- Bukan Sekadar Fitur, Storytelling Adalah Kunci Sukses Produk Baru
- PPM School of Management