Seni Menghargai Karyawan yang Menghidupkan

Seni Menghargai Karyawan yang Menghidupkan

Raka sudah lebih dari dua tahun bekerja di sebuah perusahaan logistik yang melayani distribusi barang antar kota dan provinsi. Ia bagian dari tim operasional yang menangani jadwal pengiriman, koordinasi armada, dan penanganan insiden lapangan. Ia bukan tipe yang suka menonjol, tetapi selalu bisa diandalkan.

Setiap tugas yang diberikan kepadanya selalu diselesaikan dengan optimal. Mulai dari menyusun rute efisien, memastikan dokumen pengiriman lengkap, hingga turun tangan langsung saat ada keterlambatan di lapangan.

Suatu ketika, berkat koordinasi cekatan Raka, tim berhasil menyelamatkan kontrak besar yang sempat terancam batal karena kendala distribusi. Semua tahu peran Raka sangat menentukan.

Namun, hari itu berlalu tanpa satu pun ucapan terima kasih. Tak ada pengakuan di rapat, tak ada pesan singkat dari atasan. Raka diam, tetap bekerja seperti biasa. Alhasil, sejak saat itu antusiasmenya mulai memudar. Ia tetap hadir, tetapi bukan lagi dengan semangat yang sama.

Di tengah ritme kerja yang cepat, tumpukan deadline, dan layar yang terus menyala, sangat mudah bagi seorang pemimpin untuk melewatkan satu hal kecil yang dampaknya luar biasa besar: apresiasi. Bukan karena tidak peduli, tetapi lantaran sering kali kita terjebak dalam kesibukan dan lupa bahwa satu kalimat sederhana seperti “terima kasih” bisa menjadi energi yang menggerakkan semangat kerja seseorang.

Penelitian dan pengalaman lapangan menunjukkan bahwa apresiasi bukan soal formalitas. Ini bukan tentang memberi pin emas saat ulang tahun kerja atau merayakan pencapaian besar dengan seremoni megah. Apresiasi yang paling berkesan justru datang dari hal-hal kecil yang disampaikan dengan tulus dan relevan.

Dalam sebuah artikel di Harvard Business Review, Kerry Roberts Gibson dan timnya menemukan bahwa banyak program penghargaan di tempat kerja terasa kaku dan tidak menyentuh hati. Bahkan, tak sedikit manajer yang merasa sudah cukup menghargai timnya, padahal karyawan di sisi lain merasa tak melihatnya sama sekali.

Fenomena ini disebut illusion of transparency, di mana seseorang mengira perasaannya sudah jelas terlihat tanpa perlu diungkapkan secara eksplisit.

Yang dibutuhkan karyawan sebenarnya sangat sederhana: disapa dengan hangat, diberi umpan balik yang jujur, dan diajak bicara tentang masa depan kariernya. Bahkan, bentuk penghargaan seperti diberi kelonggaran waktu setelah lembur pun bisa jauh lebih bermakna daripada sekadar pujian yang diucapkan dengan datar.

Lebih jauh, apresiasi juga bisa hadir dalam bentuk umpan balik yang membangun. Rachel Pacheco, profesor manajemen dari Georgetown University, menulis bahwa feedback yang diberikan dengan tepat mampu mengubah tugas biasa menjadi pengalaman yang penuh arti.

Ia menguraikan bahwa feedback yang efektif bukan hanya membantu karyawan berkembang (mastery), tetapi juga menunjukkan dampak dari kerja mereka (impact and meaning), serta membuat mereka merasa diperhatikan secara personal (personalize). Dengan kata lain, apresiasi yang benar-benar berarti bukan sekadar pujian kosong, melainkan pengakuan atas proses, kontribusi, dan potensi seseorang.

Sayangnya, masih banyak pemimpin yang menunda memberi apresiasi dengan alasan “belum waktunya” atau “tunggu hasil besarnya dulu”. Padahal, pengakuan yang ditunda bisa kehilangan maknanya.

Dalam artikel yang sama, Pacheco mengutip riset dari Shawn Achor yang menunjukkan bahwa hampir 80% karyawan lebih memilih atasan yang membantu mereka menemukan makna dalam pekerjaan, dibanding atasan yang hanya memberikan kenaikan gaji 20%.

Ini membuktikan bahwa apresiasi bukan sekadar elemen tambahan dalam kepemimpinan—ia adalah inti dari pengalaman kerja yang sehat dan produktif. Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh para pemimpin hari ini?

Tidak perlu menunggu proyek besar selesai. Mulailah dari hal-hal sederhana: tanyakan kabar dengan tulus, beri pengakuan dalam rapat mingguan atas kontribusi kecil yang telah dilakukan, berikan fleksibilitas sebagai bentuk kepercayaan, dan jangan menunda memberi umpan balik saat momen masih relevan. Ajak juga anggota tim bicara bukan hanya soal target, tetapi juga tentang aspirasi dan masa depan mereka.

Intinya, apresiasi bukan soal gaya, tetapi soal keberanian untuk hadir secara emosional. Ini bukan sekadar tentang menjadi pemimpin yang baik, tetapi menjadi manusia yang tahu bagaimana memberi makna kepada orang lain melalui perhatian. Dan mungkin hari ini, di tengah kesibukan kita semua, ada satu hal yang layak ditanyakan: siapa orang di sekitar kita yang sudah lama bekerja dengan luar biasa, tetapi belum pernah benar-benar kita hargai?

Artikel ini tayang di SWA Online

Baca Juga

Achmad Fachrozi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *