Membangun SDM Berbasis Sustainability

Membangun SDM Berbasis Sustainability

Kompetensi merupakan serangkaian atribut yang saling terkait, terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan keahlian yang memunculkan perilaku yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan tertentu secara efektif.

Kajian Spencer & Spencer melalui Iceberg Model of Competency menggambarkan bahwa kemampuan manusia tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan dan keahlian, tetapi juga oleh nilai-nilai, karakter, dan motivasi yang mendorong tindakan sehari-hari. Dengan demikian, terlihat hubungan langsung antara kompetensi dengan prinsip keberlanjutan.

Sementara itu, konsep Triple Bottom Line (TBL) oleh John Elkington menyatakan bahwa kesuksesan organisasi tidak hanya diukur dari profit (keuangan), tetapi juga dari aspek people (sosial) dan planet (lingkungan). Oleh karena itu, keberlanjutan sosial dan kelestarian lingkungan menjadi indikator yang diperhitungkan oleh investor, pembeli global, dan regulator.

Keberlanjutan hanya dapat diwujudkan apabila SDM memiliki kompetensi yang sesuai, bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara perilaku. Dengan kata lain, kompetensi perilaku menjadi mesin penggerak yang membuat organisasi dapat mencapai target people, planet, dan profit secara seimbang.

Implementasi prinsip keberlanjutan berlaku pada semua jenis industri. Berdasarkan pengalaman penulis menjadi mitra dalam pengembangan sistem di: (1) perusahaan yang bergerak pada perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, serta (2) perusahaan yang bergerak pada pemanfaatan hasil hutan berupa sagu, kompetensi keberlanjutan atau yang disebut dengan “Concern for Sustainability” ditetapkan sebagai kompetensi inti yang berlaku bagi seluruh jabatan di perusahaan.

Dengan adanya kompetensi ini, seluruh individu di perusahaan dituntut memiliki kemampuan dalam memahami dan mengupayakan perbaikan kualitas kehidupan manusia, sumber daya alam, dan perlindungan lingkungan demi keberlangsungan bisnis perusahaan.

Pada perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, kompetensi terkait sustainability sangat erat dengan sertifikasi yang berlaku pada perusahaan, seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). ISPO berlaku bagi seluruh usaha perkebunan sawit di Indonesia, sementara RSPO merupakan sertifikasi yang diakui secara global.

Kedua sertifikasi tersebut mendorong industri kelapa sawit memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan keberlanjutan, selaras dengan SDGs (Sustainable Development Goals) yang ditetapkan oleh PBB. Pemenuhan sertifikasi ini sangat ditentukan oleh perilaku dari seluruh SDM yang ada.

Tuntutan perilaku berkelanjutan juga berkaitan dengan konteks operasional perusahaan. Perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit beroperasi bukan hanya di wilayah budidaya, tetapi juga di sekitar petani plasma dan masyarakat. Isu seperti pembukaan lahan, pengolahan dan penanganan limbah yang dihasilkan seperti POME, pengelolaan keanekaragaman hayati, jejak karbon, komunitas sekitar pabrik, serta traceability menjadi tantangan yang memerlukan SDM dengan kompetensi keberlanjutan.

Pada perusahaan yang bergerak dalam pemanfaatan hasil hutan seperti sagu dan berada di wilayah Timur Indonesia, industri sagu berkembang bersama wilayah adat. Hal ini terlihat dari wilayah hutan sagu yang dikuasai oleh adat tertentu. Tantangan yang dihadapi perusahaan bukan hanya berkaitan dengan kemampuan teknis, tetapi juga tantangan sosial, yaitu bagaimana perusahaan dapat berkomunikasi, berelasi, dan bekerja berdampingan dengan masyarakat adat, menjaga hutan rawa, dan tetap menghasilkan produk berkualitas.

Kompetensi terkait sustainability harus dimiliki oleh seluruh pemegang jabatan pada industri ini karena berkaitan dengan pengelolaan budidaya sagu oleh masyarakat adat, pengolahan lahan gambut, serta pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan kehidupan sosial-ekonomi.

Gambaran perilaku yang diperlihatkan oleh kompetensi berbasis sustainability, dalam mendukung implementasi baik dari segi profit (keuangan), maupun aspek people (sosial) dan planet (lingkungan) pada kedua perusahaan yang disebutkan di atas, adalah sebagai berikut.

Perilaku terkait people (sosial dan kemasyarakatan):

  • Memahami dan mampu berkomunikasi dengan petani, tokoh masyarakat, dan pemerintah setempat
  • Memahami isu yang berkembang di masyarakat
  • Memahami dampak perusahaan terhadap sosial atau masyarakat di sekitar perusahaan
  • Memiliki kepekaan terhadap masyarakat dan melibatkan warga dalam program pemberdayaan masyarakat

Perilaku terkait planet (konservasi dan lingkungan):

  • Memiliki literasi lingkungan, memahami dampak deforestasi, dampak perubahan iklim, pengurangan emisi, dan pemanfaatan energi
  • Mampu mengelola dan mengoptimalkan limbah
  • Memiliki kepedulian terhadap keanekaragaman hayati
  • Mengelola lahan dengan memperhatikan agar lahan tetap produktif dalam jangka waktu panjang

Perilaku terkait profit (keberlanjutan ekonomi):

  • Mengelola sumber daya dan anggaran dengan transparan
  • Mengupayakan kestabilan rantai pasokan, misalnya dari petani
  • Melakukan upaya perbaikan dan inovasi
  • Mematuhi ketentuan dan standar yang berlaku

Keberlanjutan menjadi penentu daya saing organisasi. Ke depan, perusahaan dapat memulai dengan menyusun kompetensi berbasis sustainability yang menggabungkan kompetensi teknis dengan perilaku kepedulian sosial-lingkungan.

SDM yang memahami people, menjaga planet, dan menghasilkan profit adalah aset yang berharga bagi organisasi. Organisasi yang membangun kompetensi ini tidak hanya menjaga kelangsungan bisnis, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat dan bumi.

*Tulisan ini dimuat di SWA Online

Baca Juga

Agaverina Saragih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *