Mindset Data-Driven: Mengubah Intuisi Menjadi Kepastian Bisnis
Bayangkan sebuah situasi di ruang rapat direksi. Sang CEO mengetuk meja dengan penuh percaya diri dan berkata, “Kita ekspansi ke tiga kota baru. Saya yakin pasarnya sedang bagus.”
Karena itu suara pimpinan, tak ada satu pun yang berani menyanggah. Keputusan diambil cepat tanpa melihat data pasar, tanpa menghitung risiko.
Namun, enam bulan kemudian realitas menghantam: dua cabang terpaksa ditutup dan kerugian perusahaan membengkak.
Ironisnya, data internal perusahaan sebenarnya sudah memberi sinyal bahaya sejak awal. Angkanya ada di sana, tetapi tidak pernah dibuka, apalagi dijadikan dasar keputusan.
Kisah klise ini sayangnya bukan anomali. Di banyak perusahaan, data melimpah ruah, tetapi penggunaannya sangat minim. Dampaknya pun sering kali fatal.
Kita kini hidup di realitas baru, di mana data disebut sebagai aset, tetapi data tidak otomatis bernilai jika hanya disimpan. Riset McKinsey (2022) memberikan gambaran yang mencolok: perusahaan yang benar-benar data-driven memiliki peluang 23 kali lebih besar untuk mendapatkan pelanggan baru dan 19 kali lebih mungkin untuk mencetak profit.
Namun, ada jurang yang lebar antara potensi dan kenyataan. Forrester (2021) mencatat hanya 29% organisasi yang benar-benar menggunakan data dalam keseharian mereka. Ini membuktikan bahwa memiliki data dan memanfaatkannya adalah dua hal yang sangat berbeda.
Lantas, apa sebenarnya mindset data-driven itu?
Banyak eksekutif terjebak dalam salah kaprah bahwa menjadi data-driven artinya harus membeli teknologi paling canggih atau software termahal. Padahal, fondasi utamanya adalah pola pikir atau budaya. MIT Sloan bahkan menemukan bahwa faktor budaya menentukan keberhasilan pengolahan data dua kali lebih kuat dibandingkan faktor teknologi.
Memiliki mindset ini berarti setiap keputusan — sekecil apa pun — harus bisa dijelaskan oleh data, bukan sekadar intuisi atau feeling. Hasil pekerjaan pun harus terukur, bukan berasumsi. Dan yang paling penting, data tidak boleh dikuasai oleh satu divisi saja; ia adalah aset organisasi yang harus bisa diakses oleh siapa saja yang berkepentingan.
Mengapa banyak perusahaan di Indonesia masih tersandung dalam penerapannya?
Masalah utamanya sering bermuara pada “silo data” — di mana tiap divisi memegang data yang berbeda untuk soal yang sama. Belum lagi masalah kualitas data yang tidak sinkron karena tidak ada tata kelola yang jelas.
Akibatnya, ketika dihadapkan pada pilihan sulit, para pemimpin kembali ke kebiasaan lama: mengambil keputusan berbasis intuisi karena tidak percaya pada datanya sendiri.
Jika perusahaan ingin mulai berbenah, jangan langsung berpikir untuk membuat proyek raksasa yang rumit. Mulailah dari langkah kecil. Pilihlah satu masalah bisnis nyata yang ingin diselesaikan. Misalnya, menurunkan tingkat pelanggan yang kabur (churn) dalam tiga bulan.
Setelah tujuannya jelas, lakukan audit sederhana terhadap data yang dimiliki dan tentukan siapa yang bertanggung jawab (data owner). Bangunlah single source of truth — satu sumber kebenaran data yang disepakati bersama, sesederhana dashboard yang bisa dibaca semua orang.
Agar lebih tergambar, mari kita lihat bagaimana pola pikir ini bekerja dalam situasi operasional sehari-hari. Ambil contoh di departemen penjualan. Secara tradisional, manajer penjualan mungkin memutuskan diskon besar-besaran hanya karena “biasanya bulan ini sepi”. Namun, dengan mindset data-driven, mereka akan membedah data transaksi historis.
Mungkin datanya justru menunjukkan bahwa penurunan penjualan hanya terjadi di wilayah tertentu. Alih-alih membakar uang dengan diskon massal, perusahaan hanya perlu memberikan promo tertarget pada segmen tersebut.
Contoh lainnya bisa kita lihat di bagian HR. Sering kali tingginya angka karyawan yang mengundurkan diri langsung disimpulkan sebagai akibat gaji yang kurang. Padahal, jika kita mau mengolah data exit interview dan menyandingkannya dengan data penilaian kinerja, ceritanya bisa lain.
Bisa jadi data menunjukkan bahwa karyawan yang pergi justru adalah mereka yang memiliki atasan yang sama. Dengan fakta ini, solusinya bukan menaikkan gaji massal, melainkan memperbaiki kualitas kepemimpinan manajer tersebut.
Sebagai penutup, perlu diingat bahwa di era ekonomi digital ini, pemenangnya bukan mereka yang memiliki data paling besar, melainkan mereka yang paling cepat mengubah data menjadi keputusan dan aksi nyata. Data ibarat bahan bakar, dan analitik adalah mesinnya. Namun, mindset manusianyalah yang memegang kemudi.
Jadi, mulailah mendisiplinkan diri untuk memikirkan bisnis lewat kacamata data, sebelum terlambat!
*Tulisan ini dimuat di SWA Online